MAKALAH
FIQIH IBADAH
DASAR
HUKUM PELAKSAAN IBADAH
Makalah Disusun untuk
Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah
FIQIH IBADAH
Dosen Pembimbing:
HIDAYATUL MUNAWAROH, S.Ag.
Disusun Oleh:
Kelompok II
M.FAJRI : PEMBAHAS
SUSANTO :
MUDERATOR
LUTHFI
ANNISA : NOTULEN
KHOMISAH :
PEMBACA MAKALAH
FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI)
PRINGSEWU
PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur marilah kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT
karena berkat rahmat dan hidayahnya masih diberikan nikmat sehat, iman, dan
islam sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah FIQIH IBADAH
tentang Dasar Hukum Pelaksanaan Ibadah
Pada kesempatan
kali ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak
dan Ibu
2. Karyawan
dan Dosen STAI PRINGSEWU
3. Dosen
pengmpu mata kuliah fiqih ibadah ibu hidayatul munawaroh,S.Ag
Penyusun menyadari
masih terdapat kekeliruan dalam penyusunan dan penulisan makalah ini
semata-mata datangnya dari diri pribadi yang tak luput rasa khilaf dan
kesempurnaan datangnya dari ALLAH SWT.
Mudah-mudahan
makalah kewirausahaan tentang cara mendirikan usaha kecil dan menengah dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Pringsewu, 08 Agustus 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Keberadaan kitab
suci umat Islam yaitu Al Qur’an dalam kehidupan
sehari-hari sering diabaikan terutama mengenai
nilai dan norma, banyak diantara kita yang mendahulukan As-Sunnah dibanding
Al-Qur’an sebagai pedoman hidupyang telah ditetapkan
oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an. Sudah sepatutnya kita kembali bersumber pada
hukum yang paling utama, yaitu Al-Qur’an barulah diikuti dengan As-Sunnah lalu adapula Ijtihad. Penulis berharap makalah ini
dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan agama khususnya untuk penulis
sendiri dan umumnya untuk semua yang membaca makalah ini dan kemudian dapat mengimplementasikannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Islam merupakan agama pemyempurna
dari agama-agama lain, yang mana segala
permasalahan semisal Fiqih didasarkan pada empat “akar” (Usul al-Fiqh) :
Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas, keempat “sumber” ini dianggap lengkap (exhaustive).[1][1]
B.
Latar belakang masalah
Dari latar belakang yang
telah diuraikan di atas, teridentifikasi masalah sebagai berikut
1.
Apa saja yang menjadi sumber
hukum pelaksanaan ibadah ?
2.
Apa yang dimaksud dengan al
Qur’an ?
3. Apa yang dimaksud dengan al hadis ?
4. Apa yang dimaksud dengan ajmal ?
C.
Tujuan pembahasan
Tujuan dalam penulisan makalah ini
adalah untuk menambah pengetahuan dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua.
1. Untuk mengetahui sumber hukum pelaksanaan
ibadah.
2. Untuk mengetahui pengertian al
Qur’an.
3. Untuk mengetahui apa yang di maksud
dengan hadis.
4. Untuk mengetahui pengertian ijmak
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al Qur’an
Ø Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi, kata Al-Qur’an mengandung arti bacaan
yang dibaca. Lafadz Al-Qur’an berbentuk Isim Masdar dengan Isim Maful
Lafadz Al-Qur’an dengan arti bacaan, misalnya dapat dilihat pada Firman Alloh
pada Surat Al-Qiyamah : 17, 18 [2][2]
إِنَّ
عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (75- القيامة :17)
Artinya : “Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dalamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya.
فَإِذَا
قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (75 - القسامة : 18)
Artinya
: “Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”.[3][3]
Menurut pendapat yang peling kuat, seperti yang
dikemukakan oleh Subhi Sholih, Al-Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan turunan
(masdar) dari kata Qara’a (fiil madli) dengan arti isim al Maf’ul, yaitu maqru’
yang artinya dibaca-baca.[4][4]
Bertolak dari analisa pandangan
beberapa tokoh atau Ulama’ dalam mengartikan Al-Qur’an secara Terminologi,
kiranya dapat ditegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalamulloh yang mu’jiz,
yang turunnya kepada Nabi Besar Muhammad
Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam, dengan
melalui Malaikat Jibril, dengan lafadz Arab, yang ditulis dalam Mushaf
yang membacanya sebagai suatu ibadah, dan diriwayatkan secara Mutawatir.[5][5]
Adapun yang dipindahkan tidak secara
mutawatir, tidak dinamakan Al Qur’an,karena Al-Qur’an se3sempurna-sempurna
seruan dan keadaannya perkataan Allog Shubhanahu Wa Ta’ala, yang mengandung
hukum-hukum syara’ dan menjadi Mu’jizat bagi Nabi, maka mustahil kalau
Al-Qur’an itu dipindahkan tidak secara Mutawatir.
Ø Isi atau Kandungan Al-Qur’an
Seluruh umat Islam sepakat bahwa
Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Sholallohu ‘Alahi Wa Sallam, adalah
agama yang sempurna, dan bahkan paling sempurna . atas dasar ini kemudian ada
sebagian pemikir Islam yang berpandangan bahwa Al-Qur’an telah menjelaskan
segala-galanya, tidak ada sesuatupun yang aifa darinya. Relevannya dengan
pandangan seperti ini Rosyid Ridlo pernah mengatakan bahwa Al-Qur’an mengandung
semua Ilmu Pengetahuan yang ada di Alam Kosmis ini. Dengan kata lain, Al-Qur’an
merupakan kitab Suci yang didalamnya sudah si jelaskan sistem perekonomian,
Politik, Sosial, Budaya, Ilmu Pengetahuan dan seterusny, sehingga tidak ada
suatupun yang terlupakan olehnya. Hal ini di dasarkan pada Al-Qur’an Surat
Al-Maidah ayat 3 :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ
وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى
النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5 -المائدة : 3)
Artinya : Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Alloh, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelihnyadan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang
siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Alloh
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[6][6]
Ayat-ayat di atas dan yang senada
dengannya memang dapat diartikan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang sempurna
isinya dalam arti tidak ada sesuatupun yang dilupakan dan segala-segalanya
telah dijelaskan dalam isinya.
Berikut ini adalah perkiraan
komposisi ayat Al-Qur’an dan isinya. Al-Qur’an-Al-Qur’an yang memuat ketentuan
tentang Iman, Ibadah, dan hidup kemasyarakatan kurang lebih hanya ada 500 buah
ayat atau 8 prosen dari keseluruhan Ayat Al-Qur’an. Dari sejumlah itu,
ayat-ayat mengenai ibadah ada 140, dan tentang hidup kemasyarakatan ada 228
ayat, dan kemudian sisanya berisi tentang keimanan.
Ø Posisi Al-Qur’an Dalam Studi Keislaman
Dikalangan umat Islam, bahwa
Al-Qur’an adalah landasan pokok bagi Syari’ah Islam. Darinya diambil segala
pokok-pokok Syari’ah dan cabang-cabangnya, dari padanya di ambil dalil-dalil
syar’i. Dengan demikian Al-Qur’an adalah landasan pokok (kully) bagi
Syari’ah islam dan pengumpul segala hukumnya sebagaimana firman Alloh dalam
Surat Al-An’am ayat 38 :
Imam Ibnu Hazm berkata : “segala
pintu fiqh, tak ada suatu pintu dari padanya melainkan mempunyai pokok dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah menyatakannya. Karena Al-Qur’an adalah mengandung
dasar-dasar pokok (kully) dalam penerapannya bersifat ijma’i yang
memerlukan perincian (tafshil) dan bersifat kully yang memerlukan
penjelasan (tabyin). Dengan demikian, untuk bisa mengambil hukum dari
padanya kita memerlukan pertolongan As-Sunnah.
Selanjutnya karena Al-Qur’an
merupakan sumber utama , makan para Ulama harus terus mernerus berusaha untuk
mempelajarinya dan menggalinya dengan melakukan ijtihad untuk
mengeluarkan hukum-hukum dari ‘ibarat-‘ibarat, isyarat-isyarat, dzahir,
dan nash Al-Qur’an. Sebagaimana mereka bersungguh-sungguh mencari jalan
menakwilkan ayat-ayat mutasyabih, mentafsilkan ayat-ayat yang mujmal,
menerangakan yang belum jelas, serta menerangkan mana yang dikatakan ‘am,
nasikh, mansukh dan sebagainnya.
Karena Al-Qur’an diturunkan dengan
memakai bahasa arab, maka walaupun dalam susunan bahasa yang tidak dapat di
tansingi oleh bahasa Arab, namun kita memerlukan adanya pemahaman terhadap
segala uslub Arab di dalam mengistimbatkan hukum dari Al-Qur’an. Adapun
penjelasan Al-Qur’an yang pertama kali adalah As-Sunnah dan ini sudah merupakan
kesepakatan para Ulama’.
Dalam hal ini, Al-Qur’an berarti
mempunyai kedudukan tertinggi dalam hujjah, dan mutlak bersifat pasti. Dengan
demikian, Al-Qur’an dalam kerangka urutan dalil-dalil atau hukum atau sumber
ajaran islam adalah menempati kedudukan yang paling tinggi. Dalam kaitan ini,
maka Al-Qur’an mempunyai fungsi dasar pokok, yaitu sebagai alat kontrol atau
alat ukur menganahi apakah dalil-dalil hukum yang lebih rendah sesuia atau
tidak dengan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an ?. Apabila ternyata ditemukan adanya
ketidak sesuaian atau bahwa bertentanga, maka kekuatan hukum ini tidak sah dan
tidak diberlakukan.[7][7]
Ø Fungsi Al-Qur’an
Dari sudut isi atau subsitansinya,
funsi Al-Qur’an sebagai tersurat dalam nama-namanya adalah sebagai berikut :[8][8]
a.
Al-Huda (petunjuk)
b.
Al-Furqon (pemisah)
c.
Al-Syifa’ (obat)
d.
Al-Mu’izhah (nasihat)
B. Hadist
Hadist sebagai sumber sumber ajaran
Islam yang ke-dua setelah Al-Qur’an, telah menjadi perhatian khusus dikalangan
para intelektual Muslim ataupun Barat (Orientalis) terutama perdebatan mereka
tentang keotentikan Hadist-hadist nabi yang menyebabkan timbulnya
kelompok-kelompok penentang Hadist (Inkarussunah). Untuk memahami lebih
jelas dan lebih memahamkan maka dalam makalah ini perihal Hadist, ada beberapa
sub bagian yang insya alloh akan kami jelaskan secara rinci sebagaimana
berikut.
1.
Ilmu Hadist
Ilmu Hadits merupakan ilmu
pengetahuan yang ke-dua setelah ilmu al-Qur’an yang mesti diketaui oleh setiap
insan muslim. Berpegang kepada kedua sumber ilmu pengetahuan islam yang paling
mendasar ini merupakan cara islam menyelamatkan diri dari tersesat yang salah.
Mempelajari al-Qur’an tidak bisa
terlepas dari perhatian terhadap Ilmu Al-Hadist
sekali tentang ayat-ayat tasy-ri’ dan Qodho. Mempelajari Al-Hadist
memelukan perhatian yang sangat teliti. Hal ini disebabkan berbagai asalan :
a. Al-Hadist sebagai
sumber Syari’ah yang kedua merupakan sumber ajaran yang lahir dari seseorang manusia, tidak lahir seperti
Al-Qur’an, yang selalu dicatat oleh sahabat rosul setiap kali muncul.
b.
Al-hadist sampai kepada kita melalui proses periwayatan
para sahabat, tabi’in dan seterusnya, dalam kadar keperibadian yang
berbeda-beda ditinjau dari kriteria para ahli ilmu hadist.
c.
Al-Hadist sampai kepada kita lewat kurun waktu yang
tidak terlepas dari sejarah peradapan manusai yang tidak punya jaminan untuk
tegaknya kebenaran.
2. Pengertian
Hadist
Ø Untuk memahami pengertian hadist dapat dilakukan melalui dua cara
yaitu Melalui pendekatan kebahasaan (Linguistik)
Melalui
pendekatan kebahasaan hadist berasal dari “Hadatsa –yuhdistu- hadtsan- wa
hadi-tsan” kata tersebut mempunyai arti yang bermacam-macam, yaitu :
1.
Aljadid minal Asya :
artinya sesuatu yang baru. Kata tersebut lawan dari kata al-qodim
artinya sesuatu yang telah lama, kuno, klasik. Pengunaan dalam arti demikian
kita temukan dalam ungkapan hadits albina dengan arti jadid al bina
artinya bangunan baru.
2. Al-khobar :
artinya maa ya kaddasa bihi wayaqol, artinya sesauatu yang dibicarakan
atau diberitakan dialihkan dari seseorang ke orang lain.[9][11]
3.
Al-Qorib artinya pada
waktu yang dekat, pada waktu yang singkat, pengertian ini digunakan pada
ungkapan qorib al-‘ahd bi a- islam yang artinya orang yang baru masuk
islam.
Ada
sebagian ulama yang menyatakan adanya arti “baru” dalam kata hadits kemudian
mereka menggunakan kata tersebut sebagai lawan kata qodim (lama) dengan
maksud qodim sebagai kitab Alloh, sedangkan yang “baru” yaitu apa yang
didasarkan kepada belia nabi muhammad sholalloohu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh islam ibnu hajar berkata : “Yang dimaksud dengan hadits menurut
pengertian syara’ adalah apa yang disandarkan kepada nabi sholalloohu
‘alaihi wa sallam, dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan al qur’an
adalah qodim yang dimana terdapat di dalam syarah al bukhori.
Para Muahadditsin
(Ulama Ahli Hadits) berbeda-beda pendapatnya dalam menta’rifkan al
hadits. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena terpengaruh oleh terbatas
dan luasnya obyek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan sifat
peninjauan mereka itu melahirkan dua macam ta’rif al hadits,
yaitu : pengertian yang terbatas di satu pihak dan pengertian yang luas di
pihak lain.[10][14]
1.
Ta’rif atau pengertian yang terbatas, sebagaimana
dikemukakan oleh jumhurul muahadditsin, yaitu :
ما أضيف للنبى صلى الله عليه وسلم قولا أوفعلا أوتقريرا
أونحوها.
“Ialah sesuatu yang
disandarkan kepada nabi muhammad sholalloohu ‘alaihi wa sallam, baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya”.[11][15]
Dari pengertian diatas terdapat empat macam
unsur yakni ; [12][16]
- Perkataan yaitu perkataan yang pernah beliau Nabi Muhammad Sholalloohu ‘Alaihi Wa Sallam ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum (Syari’ah), akhlaq, ‘aqidah, pendidikan dan sebagainya. Sebagaimana contoh perkataan beliau yang mengandung hukum Syari’ah, misalnya sabda beliau :
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى. (متفق
عليه)
“hanya amal-amal
perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh apa yang
ai niatkan .... Dan seterusnya”.[13][17]
- Perbuaatan yaitu perbuatan Nabi Muhammad Sholllaooohu ‘Alaihi Wa Sallam, merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan Syari’ah yang belum jelas cara pelaskanaannya.
Perbuatan beliau dalam
masalah cara bersholat dan cara berhadap kiblat dalam sholat di atas kendaraan
yang sedang berjalan, telah dipraktekkan oleh nabi dengan perbuatan beliau di
hadapan para sahabat. Dapat kita ketahui berdasarkan berita dari sohabat Jabir
RA. Yaitu :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم : يصلى على راحلته حيث
توجهت به فإذا أراد الفريضة نزل فاستقل القبلة.
(البحارى).
“Dulu rodululloh
sholalloohu ‘aliahi wa sallam bersabda di atas kendaraan (dengan menghadap
kiblat) menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak sholat fardu,
beliau sebentar, terus mengahdap kiblat”.
- Taqrir ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
Contoh taqrir nabi
tentang perbuatan sahabat dalam acara jamuan makan, menyajikan makanan daging
biawak dan mempersilahkan kepada nabi untuk menikmatinya bersama para undangan.
Beliau menjawab :
(لا, ولكن لم
يكن بأرض قومى, فأجدنى أعافه !) قال خالد : فاجتززته, فأكلته, ورسول الله صلى الله
عليه وسلم ينظر إلي.(متفق عليه)
“Tidak (maaf)
berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik padanya !”
Kata kholid : “segera
aku memotongnya dan memakannya sedang rosulullooh sholalloohu ‘alaihi wa
sallam, melihat kepadaku”.
3.
Hadist
Berdasarkan Jumlah Perawi
a. Hadist Mutawatir
Hadist
Mutawatir adalah suatu hadist hasil tanggapan dari panca indera yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rowi yang menurut adat kebiasaan mustahil
mereka berkumpul dan bersepakat dusta. Dengan adanya pengertian ini dapat
difahami bahwa syarat untuk menentukan hadist mutawatir yaitu hadist diterima
berdasarkan tanggapan panca indra, jumlah perowinya harus mencapai ketentuan
yang tidak mungkin mereka bersepakat bohong. Mengenahi ketentuan jumlah perowi
untuk memenuhi syarat tersebut para muhadditsin berselisih pendapat.[14][20] Adanya keseimbangan
jumlah rawi-rawi pada thobaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi pada thobaqoh
berikutnya.
Pendapat
lain Hadits Mutawatir secara terminologi hadits yang diriwayatkan oleh rowi
yang banyak dan tidak mungkin mereka mufarokat berbuat dusta pada hadits itu,
mengingat banyaknya jumlah mereka.[15][21]
b. Hadist
Ahad
Hadist
Ahad adalah hadist yang jumlah rawi pada thobaqoh pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya terdiri dari tiga orang atau dua orang atau bahkan seorang. Haidts
Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua perowi, hadits Ahad ini
tidak memenuhi hadits mutawatir ataupun masyhur. Hadits ini tidak sampai pada
jumlah periwayatan hadits mashur. Imam syafi’I menyebut hasits ini dengan
istilah khusus, yaitu khobar al khas.[16][22] Yang mana hadist ini
dikelompokkan oleh ahli hadist menjadi tiga bagian yaitu hadist Masyhur, Hadist
‘Aziz dan Hadist Ghorib.
c. Hadits Masyhur yaitu
hadits yang memiliki jalur terbatas oleh lebih dua perowi namun tidak mencapai
batas mutawatir.
4.
Pembagian Hadist berdasarkan Dasar Alasan Berhujjah
a.
Hadits Shohih yaitu hadits yang dinukil (diriwayatkan)
oleh rowi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak
ber’ilat dan tidak janggal.[17][23] Maksud dari adil
yaitu selalu berbuat taat, menjahui dosa – dosa kecil, tidak melakukan perkara
yang menggugurkan iman.
b.
Hadits Hasan, yaitu hadits yang dibnukikan oleh orang
adil (tapi) tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya yang
tidak terdapat ilat serta kejanggalan dalam matannya.[18][24]
c.
Hadits Dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat
shohih ataupun syarat-syarat hasan.[19][25]
Hadits Qutsiy sinonim dengan hadits Ilahiy yaitu setiap
hadits yang mengandung sandaran Rosululloh saw. kepada Alloh swt. Perbedaan
antara hadits Qudsiy dan nabawi yaitu bahwa hadits Nabawi yang terakhir dinisbatkan
kepada Rosul saw. dan diriwayatkan dari beliu, sedangkan hadits Qudsiy
dinisbatkan kepada Alloh swt.
Beliau menulis surat ke Wilikota Masinah Abi
Bakar bin Muhammad bin Umar bin Hazmin (ibnu Haszmin) untuk meneliti
hadist-hadist Rosululloh dan menuliskannya.[20][26] Dan dari mereka
muncul Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhry (Ibnu Zuhry wafat 124 H.)
sebagai pentadwin hadist yang tidak mencampurkannya dengan fatwa sahabat maupun
Tabi’in.
.
7. Unsur-Unsur
Hadist
Ada beberapa unsur-unsur yang terdapat dalam hadits
diantaranya yaitu :
a. Rowi yaitu orang yang menyampiakan menuliskan suatu kitab apa-apa
yang pernah didengar dan diterimanya dari seorang gurunya.
b. Matnu’l
Hadits yaitu pembicaraan (kalam) atau materi berita yang di over oleh sanad
yang terakhir, baik pembicaraan itu sabda Rosululloh saw. sahabat ataupun
tabi’in.
c. Sanad yaitu jalan yang dapat menghubungkan materi hadits kepada Junjungan
kita Nabi Muhammad saw
C. IJTIHAD
1. Pengertian
Ijtihad
بذل الوسع لتحصيل حكم شرعي
“Ijtihad adalah mengerahkan segala daya kemampuan untuk menghasilkan
hukum”
استفراغ الوسع لتحصيل حكم رعيبطريقالظن
“Atau menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum
syara’ dengan jalan dlonn”.
Di dalam putusan Hakim atau pengadilan ijtihad adalah jalan yang
diikuti hakim dalam menetapkan hukum baik yang berhubungan dengan nash ataupun
UUD, dengan mengistimbathkan hukum yang wajib diterapkan diwaktu tidak ada nash. Juga bisa diartikan
meluangkan kesempatan dan mencurahkan kesungguhan.
Ijtihad itu terbagi menjadi dua :
a.
Mengambil hukum dari dalil nash, yaitu ketika masalah
yang ditangani tersebur sudah diatur oleh nash.
b.
Mengeluarkan hukum dari memahami nash umpamanya, ada
suatu masalah yang mempunyai illat dan illat tersebut sama dengan yang
ditunjukkan dalam nash, maka seorang mujtahid atau hakim boleh menyamakan hukum
masalah tersebut dengan hukum yang sudah ada dalam nash.
2. Tujuan
ijtihad
Sedangkan ijtihad dilihat dari tujuannya adalah untuk
mendapatkan hukum yang belum ada aturanya dalam nash maupun undang-undang.
3. Hal-hal
yang boleh jadi obyek ijtihad
Sudah diterangkan dimuka bahwasanya tidak boleh
melakukan ijtihad dalam segala sesuatu yang sudah ada aturannya dalam nash.
Maka, jika peristiwa yang hendak diketahui hukumnya itu, harus tahu hukum
syara’nya dan dalil yang jelas dan pasti, sehingga tidak ada tempat untuk
ijtihad disana, maka yang wajib dilaksanakan adalah yang sudah ditunjuk oleh
nash tadi, karena selama dalil itu masih dating , maka ketetapan dan ketentuan
Allohdan Rosul-Nya itu layak menjadi pembahasan dan pencurahan daya namun tak
pasti, tidak ada jalan untuk ijtihad kepada masalah yang ada kemampuan untuk
mengoreksi.
Selama ada dalil yang pasti maka dalil itu tidak bisa dijadikan
obyek ijtihad, atas dasar ayat-ayat hukum tadi telah benar menunjukkan arti
yang jelas dan tidak mengandung ta’wil yang harus diterapkan untuk ayat-ayat
itu. Contoh masalah yang sudah ada hukumnya dalam nash:
الزانية والزاني فاجلدواكل واحد ماة جلدة
Artinya: perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah masing-masing seratus kali dera. (QS.An-Nuur: 22).
Contoh diatas sudah jelas, bahwa baik laki-laki maupun
perempuan yang berzina, masing-masing didera seratus kali, hukum ini sudah
jelas sehingga tidak perlu diijtihadi.
Sedangkan contoh masalah yang membutuhkan ijtiihad
adalah:
اقيمو الصلوة واتوالزكوة
Dan lakukanlah sholat, tunaikanlah zakat… (QS.Al-Baqoroh:43)
Dalam contoh ini memang sudah jelas bahwa umat manusia
diperintahkan untuk melaksanakan sholat dan zakat, namun bagaimana cara
melakukannya belum diterangkan dalam ayat tersebut, jadi masih perlu
diijtahadi, contohnya berapa ukuran zakat padi, zakat perdagangan, zakat
profesi, dan seterusnya.
- Macam-macam ijtihad.
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian,
yaitu:
a. Ijtihad Fardi adalah :
الاجتهاد الفردي هو كل اجتهاد ولم يثبت اتفاق المجتهدين
فيه على راي في المسالة
Setiap ijtihad yang
dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang dalam suatu perkara, namun
tidak ada indikasi bahwa semua mujtahid menyetujuinya”.
b.
Ijtihad Jami’ adalah semua ijtihad dalam berbagai macam
persoalan dan ijtihad itu disetujui oleh semua mujtahid. Ijtihad kedua inilah
yang dimaksudkan oleh Sayyidina ‘Ali karromallohu wajhahu, pada waktu beliau
menanyakan kepada Rosul tentang suatu masalah yang menimpa masyarakat dan belum
diketahui hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, Rosululloh kemudian bersabda
اجمعواله العالمين من المؤمنين فاجعلوه شورى بينكم فيه
براي واحد
“Kumpullah orang-orang berilmu dari orang-orang mu’min untuk
memecahkan masalah itu, dan jadikanlah hal itu masalah yang dimasyarakatkan
diantara kamu, dan janganlah kamu mamutuskan hal itu dengan pendapat seorang
saja”. (HR.Ibnu Abdil Barr).
Contoh dari ijtihad jami’ ini ialah: kesepakatan para
sahabat ketika mendukung dan mengangkat Sayyidina Abu Bakar sebagai kholifah
(kepala negara) serta kesepakatan mereka terhadap tindakan Abu Bakar yang
menunjuk Umar sebagai penggantinya. Begitu juga kesepakatan mereka atas usulan
Umar dalam pengkodifikasian Al-Qur’an. Padahal hal-hal yang demikian ini belum
pernah terjadi dimasa Rosul, namun ini dibenarkan oleh syara’.
Sesungguhnya hukum-hukum yang telah diatur dalam nash
itu sudah banyak, namun tetap mengandung katerbatasan, dalam artian tidak akan
ada tambahan lagi, sedangkan kejadian atau peristiwa yang dihadapi manusia
tidak berkesudahan, maka untuk menghadapi hal seperti itu perlu kembali pada
ijtihad terhadap satu hal yang dapat kita hindari didalam menghadapi setiap
perkembangannya.
Dengan demikian sesuailah dengan apa yang dikatakan oleh
para ulama’ Hambali, bahwa tak ada satu masapun yang berlalu di dunia ini
kecuali di dalamnya ada orang-orang yang mampu berijtihad. Dengan adanya
orang-orang yang berijtihad seperti inilah agama akan terjaga dan upaya
pengacauan pun dapat dihindarkan.
- Syarat-syarat orang yang boleh malakukan ijtihad.
Syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid (orang
yang melakukan ijtihad) adalah sebagai berikut :
a.
Menguasai bahasa Arab
b.
Mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang mendalam
tentang kandungan Al-Qur’an, sehingga ia dapat mengetahui hukum-hukum syara’
yang terkandung di dalamnya.
c.
Mempunyai pengatahuan yang luas di bidang Sunnah, hal
ini akan memudahkan Mujtahid dalam mencari hadits terhadap segala peristiwa
yang dihadapinya.
d.
Memahami ushul fiqh
e.
Memahami nasikh-mansukh
f.
Memiliki pengathauan tentang qias (analogi)
Mujtahid diklasifikasikan menjadi empat macam:
a.
Mujtahid muthlaq / mujtahid fis-syar’ii
Mujtahid muthlaq / mujtahid fis-syar’ii yaitu orang yang melakukan
ijtihad langsung secara keseluruhan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan ia
mendirikan madzhab tersendiri dengan hasil ijtihadnya tersebut. Seperti:
madzhab empat.
b.
Mujtahid madzhab / mujtahid fil-madzhab
Yaitu para mujtahid yang mengikuti suatu madzhab dan tidak
mendirikan madzhab sendiri, tetapi dalam berijtihad mereka mengikuti salah satu
madzhab dan sering kali terjadi kontroversi antara mereka dan gurunya.
c.
Mujtahid fil-masaail (ijtihad parsial dalam
cabang-cabang tertentu)
Yaitu orang yang berijtihad dalam suatu masalah saja, tidak
keseluruhan, dan mereka tidak hanya mengikuti satu madzhab saja. Seperti ;
Hadzairin berijtihad tentang hukum kewarisan islam.
d.
Mujtahid muqoyyad
Yakni mujtahid yang mengikat diri dan mengikuti pendapat ulama’
salaf, dengan kemampuan menentukan mana yang lebih utama dan menentukan
pendapat mana yang riwayatnya lebih kuat. Pemahaman ini menjadi dasar pendapat
para mujtahid yang diikuti
BAB III
KESIMPULAN DAN
SARAN
I.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat di simpulkan dasar hukum pelaksanaan
ibadah ada tiga yaitu :
Ø Al-Qur’an
Secara etimologi, kata Al-Qur’an mengandung arti bacaan yang dibaca.
Lafadz Al-Qur’an berbentuk Isim Masdar dengan Isim Maful Lafadz
Al-Qur’an dengan arti bacaan,
Menurut pendapat yang peling kuat, seperti yang dikemukakan oleh
Subhi Sholih, Al-Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan turunan (masdar) dari kata
Qara’a (fiil madli) dengan arti isim al Maf’ul, yaitu maqru’ yang artinya
dibaca-baca.[21][4]
Bertolak dari analisa pandangan beberapa tokoh atau Ulama’ dalam
mengartikan Al-Qur’an secara Terminologi, kiranya dapat ditegaskan bahwa
Al-Qur’an adalah kalamulloh yang mu’jiz, yang turunnya kepada Nabi
Besar Muhammad Sholallohu ‘Alaihi Wa
Sallam, dengan melalui Malaikat
Jibril, dengan lafadz Arab, yang ditulis
Ø Hadist
Hadist sebagai sumber sumber ajaran Islam yang ke-dua setelah
Al-Qur’an, telah menjadi perhatian khusus dikalangan para intelektual Muslim
ataupun Barat (Orientalis) terutama perdebatan mereka tentang keotentikan
Hadist-hadist nabi yang menyebabkan timbulnya kelompok-kelompok penentang
Hadist (Inkarussunah).
Ø Ijtihad
بذل الوسع لتحصيل حكم شرعي
“Ijtihad adalah mengerahkan segala daya kemampuan untuk menghasilkan
hukum”
استفراغ الوسع لتحصيل حكم رعيبطريقالظن
“Atau menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum
syara’ dengan jalan dlonn”.
Di dalam putusan Hakim atau pengadilan ijtihad adalah jalan yang
diikuti hakim dalam menetapkan hukum baik yang berhubungan dengan nash ataupun
UUD, dengan mengistimbathkan hukum yang wajib diterapkan diwaktu tidak ada nash. Juga bisa diartikan
meluangkan kesempatan dan mencurahkan kesungguhan.
Ijtihad itu terbagi menjadi dua :
II.
SARAN
Ø Makalah ini hanya sebagai tambahan ilmu bagi kita khususnya
mahasiswa/I STAI Pringsewu. Oleh karena itu kami mengharapkan bagi pembaca
untuk bisa mengkaji lebih dalam lagi tentang pembahasan yang telah diuraikan
dalam makalah ini dari sumber-sumber yanglain.
Ø
Kita harus dapat mengetahui dasar hukum ibadah yang telah dipaparkan dalam makalah ini
. Semoga
makalah ini dapat menjadi bahan pelajaran dan tambahan ilmu untuk pembaca semua,kritik
dan saran yang membangun kami butuhkan untuk dapat lebih baik lagi.
.DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen
Agama RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Gema Risalah Press Banduung Jakarta
Barat
2. Dr.
Muniron, DKK, Studi Islam STAIN jember Press : Jember. 2010
3. Drs.
Atang ABD. Hakim, MA dan Dr. Jain Mubarok, Metodologi Studi Islam,
Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000.
4. Drs.
Nazar Bakry, Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta : CV. Rajawali Press, 1993.
5. Amin
Abdulloah, Falsafat Kalam Di Era Post Modernisme, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1997).
[1][1] Marshall G. S. Hodgson, The Venture
of Islam Imam dan Sejarah Dalam Peradapan Islam Masa Klasik Islam (Paramadina
Jakarta Selatan 2002) hal. 132
[3][3] Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan
Terjemahnya Gema Risalah Press Bandung Jakarta Barat, hal.1196-1197
[4][4] Drs. Atang ABD. Hakim, MA dan Dr. Jain
Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000.
hal. 69
[6][6] Departemen Agama RI. Al-Qur’an Dan
Terjemahnya Gema Risalah Press Bandung Jakarta Barat, hal. 200-201
[21][4] Drs. Atang ABD. Hakim, MA dan Dr. Jain
Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Pesdakarya, 2000.
hal. 69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar